CHAPTER 1: the report

Februari 2009, musim hujan masih belum juga berganti. Awan kelabu bergerak mengambang perlahan sementara angin menggoyangkan dedaunan pohon. Tak ada yang mau bertahan berdiam di luar ruangan pada cuaca seperti ini, kecuali tentara-tentara penjaga di luar Mabes TNI

Markas Besar TNI terletak di Jalan Merdeka, jalanan yang sepi dari aktivitas. Bangunan markas adalah bangunan tua peninggalan Belanda, yang telah direnovasi berulang-ulang. Tak hanya bangunan Mabes yang bangunan lama, malah seluruh bangunan di sepanjang jalan itu adalah bangunan tua. Di bangunan utama, Panglima Tentara Nasional Iconesia, suatu institusi yang dulu dikenal dengan Angkatan Bersenjata Republik Iconesia, duduk merenung di depan meja kerjanya yang membelakangi jendela. Ia memutar kursi kerjanya yang empuk menghadap jendela. Hatinya ikut murung bagai langit mendung di luar sana.

Jendral Djarot Ganesha, Panglima Tentara Nasional Iconesia itu, kini berusia lima puluh dua tahun. Tubuhnya kini gempal, berbeda dengan fotonya semasa prajurit yang ia gantung di ruang kerja, namun ketegasan masih tampak di wajahnya. Karier militernya gemilang, terutama jika mengingat ia bukanlah warga negara Iconesia asli. Ia mendapatkan kewarganegaraannya pada masa immigrant booming yang pertama.

Karier militernya melejit selama masa Perang Saudara Iconesia. Ia masih ingat benar masa itu dimana sulit membedakan mana kawan dan mana lawan. Jendral Jarot tampaknya memilih pihak yang tepat waktu itu, dan kini ia adalah Panglima TNI.

Yang membuatnya murung adalah laporan berjilid spiral yang tergeletak di meja kerjanya. Laporan itu langsung didapatkannya dari orang kepercayaannya di intelejen.

Ia membolak-balik laporan berjilid spiral di tangannya. Sesekali ia memutar-mutar arah kursi kerjanya yang empuk, kursi itu pun berderit tertahan.

Awalnya ia mengira itu hanyalah laporan intelejen rutin sampai ia terhenti di halaman 103, halaman-halaman sebelumnya dilahapnya dengan cepat. Namun sekarang ia tampak ragu.

Pada mulanya ia terkejut. Ia sudah tahu bahwa negara tak kunjung stabil. Namun kenyataan tersembunyi di kalimat-kalimat halaman 103 itu adalah kenyataan. Sekarang ia melihat ada krisis yang tak terhindarkan, yang bahkan tak bisa dihindari oleh pihak militer sekalipun.

Ia kembali membolak balik beberapa halaman sebelum halaman 103 itu. Tapi ia tetap saja terus menatap tulisan-tulisan di halaman itu.

Jendral Jarot mengumpat pelan, ia menutup laporan itu, dan melihat lagi ke luar jendela. Jendral Jarot adalah sosok militer sejati. Dahulu sebagai prajurit yang bukan warga negara asli Iconesia sulit baginya mendapat kenaikan pangkat. Kariernya menanjak perlahan, dan kini saat telah mencapai puncak ia tak ingin mengalami masa depan seperti yang diperkirakan dalam laporan itu.

Tangannya kirinya menggapai-gapai telepon di atas meja, saat meraihnya ia mengangkat gagangnya dan menekan-nekan angka-angkanya dengan satu tangan.

"Panggil Dewo kesini!" perintahnya tegas.

***

Seorang pria tampak berjalan bergegas melewati koridor. Di ujung koridor ia menaiki tangga yang membelok dan kemudian memasuki koridor lainnya.

Ia tampak berkeringat dan terengah engah, kemeja birunya, yang tangannya digulung sampai sikut, tampak basah oleh keringat.

Di ujung koridor hanya ada satu pintu. Ia mengetuknya dan membuka pintu itu.

"Siang Pak," katanya..

Ketika ia masuk Jendral Jarot sedang berdiri menatap jendela besar di belakang meja kerjanya. Sang jendral melempar laporan yang tadi dibacanya ke atas meja.

"Coba jelaskan..." kata sang jendral sembari kembali duduk di kursinya yang empuk.

Pria itu, Dewo Dewabrata, menatap laporan yang baru saja dilemparkan ke atas meja. Di atas meja itu memang penuh laporan-laporan, namun laporan yang baru saja dilemparkan itu memang adalah laporan yang memang disusunnya sendiri.

Ia melepaskan kacamatanya, mengelapnya sengan kemeja, lalu mengenakannya lagi. Dengan hati-hati ia mengambil laporan itu,

sekilas judul laporan itu terbaca olehnya, GERICO.

Dewa Dewabrata dikenal sebagai Pakar Telematika oleh masyarakat. Ia kerap dimintai pendapat jika terjadi kasus menghebohkan di dunia maya.

Pada tahun 2006 internet dihebohkan dengan banyak beredarnya foto-foto asusila para pejabat publik, Dewo Dewabrata menjadi terkenal saat membantu para pejabat membersihkan nama mereka dengan mengatakan bahwa foto-foto itu adalah foto rekayasa karena tak ada meta tag-nya.

Ia kini juga menjabat sebagai dewan komisaris Televisi swasta terbesar di Iconesia.

Namun identitas sebenarnya dari Dewo Dewabrata tak diketahui oleh siapapun. Ia sebenarnya adalah intel senior di Badan

Intelejen Nasional. Laporan-laporan yang berserakan di meja Jendral Djarot adalah bukti keberhasilannya menggagalkan aksi intelejen negara asing.

Ia menjadi orang kepercayaan Jendral Djarot sejak lama, sejak ia menggagalkan usaha para peretas membobol data Dephan. Ia juga membangun jaringan internet yang sangat aman di kantor Jendral Djarot. Berikutnya ia berturut-turut menggagalkan aksi intel asing berkedok bimbingan belajar, Waralaba Fried Chicken, jasa kurir, dan terakhir Perusahaan Smart Card.

"Apa ini bener?" tanya Jendral Djarot

"Positif," jawab Dewo "saya yakin 100 persen!"

Jendral Djarot menghela napas, dadanya terasa berat untuk digunakan bernapas. Ia bangkit dari duduknya dan menggebrak meja.

"K..kalau ini bener.." kalimatnya terputus, "Kau tau kan apa artinya?"

Dewo meletakkan kembali laporan itu ke atas meja, "Tau Pak"

"Selesaikan masalah ini! Buat prediksi langkah-langkah mereka & tulis semua alternatif yang bisa dilakukan. Siapkan semua prediksi sumberdaya yang kita butuhkan, personel.. pokoknya semuanya!!" Sang Jendral membentak sambil menunjuk-nunjuk laporan

yang kini kembali tergeletak di atas meja.

"Jangan gagal.." ia memperingatkan, "Kalau sampai gagal, Mati Lo Wo!!!"

Setelah Dewo Dewabrata keluar, Jendral Jarot menghempaskan dirinya di kursi empuknya, kursi itu berderit keras. Ia mencoba merogoh kantung celananya yang sempit dan meraih sapu tangannya.

Ia menyingkirkan beberapa laporan untuk menemukan remote TV di atas meja. TV LCD di sudut ruang kerja menyala seketika.

Acara berita yang tayang menampilkan pidato Fuhrer Tebe, sang Jendral malas melihat wajah si Fuhrer, ia memindahkan channel ke acara berita lain.

Berita itu menampilkan acara Rapat Publik suatu partai baru di Istora Kapten Muslihat. Si reprter berita mengatakan lautan masa sampai memenuhi Jalan Raya Kapten Muslihat sehingga polisi terpaksa menutupnya. Tampak jutaan massa memenuhi Istora dan mereka semua memakai kaus dan membawa bendera bertuliskan lambang partai. Sang Jendral tak sempat melihat tulisannya.

Kemudian wajah sang Jendral menegang, ia mencengkram pegangan kursinya dengan tangan kiri dan mengambil laporan di atas meja

dengan tangan lainnya. Ia tersentak membaca spanduk yang tergantung di podium utama.

Spanduk itu bertuliskan GERICO.

0 komentar:


 

K2 Modify 2007 | Use it. But don't abuse it.